Pada
tahun 1831. Pasukan gabungan Kompeni Belanda bersama pasukan Surakarta, yang
dipimpin oleh Senopati Arumbinang IV ditambah Prajurit Jogjakarta yang setia
pada Kompeni serta beberapa opsir / perwira
Kompeni menyerbu Panjer Roma. Satu demi satu pertahanan Panjer Roma yang
kuat dapat di hancurkan.
Dan
Panjer Roma dapat dikuasai oleh Adipati Arumbinang IV bersama Kompeni Belanda.
Sedangkan sisa prajurit Panjer Roma ada yang mundur ke Utara melalui
Jatimalang, Karangkembang – Alian bahkan ada juga yang mundur melalui Wonoyoso, Karangsari,
Wonosoro dan akhirnya semua berkumpul di Desa Banioro. Perjuangan Kanjeng Raden
Adipati Temenggung Kolopaking IV diteruskan oleh Endang Kertowongso paman dari
Kertowongso Sudirso ( Ki Hajar Welaran ) dan mendirikan Pemerintahan Panjer Gunung
( sekarang makam Panjer ) yang diikuti oleh
Senopati Gomowidjoyo, Banaspati Djoyomenggolo dan Ki Kertodrono /
penembahan Sigaluh. Pemerintahan Panjer Gunung dipimpin oleh Ki Endang
Kertowongso, yang selanjutnya menggantikan KRAT Kolopaking IV.
Setelan
beberapa bulan Panjer Gunung menghimpun kekuatan dari sisa –sisa Prajurit Panjer Roma yang terpencar, dengan
penggabungan prajurit dari Sigaluh yang dipimpin oleh Ki Kertodrono serta para
pemuda dan rakyat yang berdatangan dari Desa Clapar, Cemoro sewu, Jemur,
Selorondo, Kaligending untuk dilatih keprajuritan menggunakan berbagai macam
senjata, panah, tulup beracun, bedil dll. Setiap malam Pasukan Kompeni Belanda
tidak dapat tidur karena prajurit dibawah pimpinan Banaspati Djoyomenggolo selalu menyerang secara bergerilya, dan
setiap pagi ada pasukan Kompeni yang mati dibunuh, ada yang di gantung bahkan
ada juga pembakaran rumah – rumah yang orangnya dicurigai membantu Belanda.
Karena setiap malam prajurit Gomowidjoyo
bergerilya ke daerah kekuasaan Kompeni
VOC, maka Senopati Arumbinang IV dan opsir Kompeni serta utusan Jendral De Koch berunding untuk segera
menghancurkan kantong – kantong gerilya sampai markasnya di Banioro, kemudian
seluruh pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV di siagakan untuk
menyerbu pada senja hari, yang akan di gempur
adalah markas sisa prajurit Panjer di Banioro, tetapi rencana tersebut
dapat diketahui oleh prajurit Panjer
Gunung. Maka Pemerintah Panjer Gunung dengan seluruh kekuatannya siap siaga
menyambut serbuan pasukan Kompeni Belanda dan Arumbinang IV dengan menggunakan
siasat Capit Urang. Begitu pasukan Kompeni Belanda masuk Desa Karangsambung,
langsung di hadang oleh pasukan Panjer Gunung, maka terjadilah perang
besar-besaran, semua kekuatan pasukan Panjer Gunung di kerahkan baik yang dari
Clapar dan Selorondo yang dipimpin oleh Ki Endang Kertowongso dan Ki Hajar
Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ), demikian pula yang dari Jemur dan Cemoro
sewu yang dipimpin Ki Kertodrono (
pasukan Sigaluh ) secara serentak menyerbu pasukan Kompeni Belanda dan pasukan
Arumbinang IV .
Pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV
merasa kebingungan, karena apabila mau lari ke barat mereka harus menyeberang
kali Lukulo dan disitu disambut panah/lembing dari pasukan Sigaluh pimpinan Ki
Kertodrono dan Banaspati Djoyomenggolo. Apabila mundur , mereka dihadang oleh
pasukan Senopati Gonowidjoyo dari Kaligending dan Jemur. Pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Surakarta yang dipimpin
oleh opsir Mayor Van Royen, Kapten Arons
dan Huster terpaksa bertahan di lereng tebing kali Lukulo dan hutan pohon bambu
sambil menunggu bala bantuan datang.pertempuran di Karangsambung benar – benar
merupakan pertempuran besar, dimana pasukan Kompeni Belanda besrta pengikutnya
mengalami pukulan berat, mental dan fisik.
Banyak prajurit yang
meninggal dan luka – luka berat, mereka hanya bergeletakan bercampur dengan
mayat di jalan setapak, tegalan dan di lereng perlindungannya, sedangkan bahan
makanan sudah banyak yang habis. Kondisi yang demikian di manfaatkan oleh
pasukan Panjer Gunung untuk terus menekan dan menggempur pasukan Kompeni
Belanda dan pasukan Arumbinang IV,akhirnya pasukan panjer Gunung dapat
menguasai Karangsambung dan dapat merampas persenjataan yang dimiliki oleh
pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV, namun sayang pasukan Panjer
Gunung tidak dapat menggunakan senjata yang di rampasnya tersebut. Kalau saja
para prajurit Panjer Gunung dapat menggunakan senjata rampasan tersebut
tentunya pasukan gabungan Kompeni Belanda sudah di hancurkan/dibunuh semua oleh
pasukan panjer gunung.
Damun akhirnya pasukan
gabungan Kompeni Belanda tidak berani keluar dari tempat perlindungannya,
karena kalau sampai keluar tentu akan terkena panah, lembing, tulup (sumpit)
beracun, karena itulah pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV
terpaksa bertahan berhari – hari sambil menunggu bala bantuan yang datang.
Ki Kertowongso Sudirso
( Ki Hajar Welaran ) beserta Ki Kertodrono Adipati Sigaluh sudah mengerti
keadaan pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV yang terdesak,dan
sudah tidak berdaya dan mentalnya jatuh dan semangat bertempurnya sudah hilang,
sehingga para pimpinan pasukan prajurit Panjer Gunung tidak menyia – nyiakan
kesempatan tersebut,dan sepakat untuk mengadakan penyerangan secara serentak
terhadap pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV.
Pasukan prajurit
Sigaluh bergerak dari arah Cemoro Sewu di pimpin sendiri oleh Ki Kertodrono,
menuju sasaran di tepi kali Lukulo, dan pasukan prajurit Panjer yang dipimpin
oleh Banaspati Djoyomenggolo dari Desa Jemur bergerak ke timur, pasukan
prajurit Panjer dengan Senopati Gomowidjoyo dari arah Kaligending menjepit ke
barat, sedangkan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) dari arah Desa
Selorondo bergerak juga menjepit ke barat, bersama Ki Endang Kertowongso
bersama Laskar Pemuda Banioro.
Pasukan Kompeni Belanda
dan pasukan Arumbinang IV di gempur habis – habisan, akhirnya pasukan gabungan
Kompeni Belanda banyak yang meninggal, sedangkan yang masih hidup berhamburan
melarikan diri. Disinilah pasukan Kompeni Belanda pontang panting karena
dikejar oleh rakyat. Akhirnya pasukan gabungan Kompeni Belanda kebingungan.
Pada saat bersamaan pasukan bantuan datang untuk membantu pasukan gabungan
Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV, sehingga semangat perang kembali
berkobar, bala bantuan yang masih segar bugar langsung menggempur pasukan
Panjer dan pasukan Sigaluh dari segala
penjuru, dan akhirnya keadaanpun berbalik yaitu pasukan panjer dan Sigaluh
tidak mampu menghadapi pasukan Kompeni Belanda yang didukung dengan
persenjataan lengkap. Akhirnya disemua sisi pasukan Kompeni Belanda dapat
memukul mundur pasukan panjer dan sigaluh, pasukan panjer yang dipimpin oleh
Senopati Gomowidjoyo di Kaligending juga di gempur mundur ke Utara bergabung
dengan prajurit panjer yang dipimpin oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso
Sudirso ), pasukan panjer yang dipimpin oleh Banaspati Djoyomenggolo juga mundur meninggalkan banyak korban, untuk
bergabung dengan pasukan Sigaluh dan bertempur menghadapi lawan, Kompeni yang
dipimpin oleh Mayor Verbrug. Pasukan Kompeni Belanda di sisi barat bergerak
maju terus dan menjepit pasukan panjer, pertempuran sengit terjadi hingga
perang satu lawan satu, kedua belah pihak memberi korban yang tidak sedikit.
Dilokasi itu pula
Senopati Sigaluh Ki Kertodrono terluka parah karena tertembak oleh Kompeni
Belanda , dan dilarikan ke gunung paras, ke esokan harinya di bawa ke Cemoro
sewu, tapi dalam perjalanan Ki Kertodrono terlalu banyak mengeluarkan darah dan
tidak dapat tertolong lagi akhirnya meninggal diperjalanan, Jenazah Ki
Kertodrono dimakamkan di bawah pohon beringin di Gunung Pakoh, dan di
keramatkan menjadi panembahan sipakoh.
Pertempuaran di Karangsambung masih terus berlanjut,
dan akhirnya pasukan Kompeni Belanda dapat menguasai Karangsambung, pasukan
Panjer yang dipimpin oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) beserta
Ki Endang Kertowongso terdesak mundur naik ke Gunung Paras dan bertahan di
sana.
Ki Endang Kertowongso diam-diam menyelinap pergi ke
markas di Banioro, ternyata markas tersebut sedang di gempur oleh pasukan
gabungan Kompeni Belanda, dan Ki Endang Kertowongso dengan beberapa pangawal prajurit Panjer
menerusksn perjalanannya ke Gak Baning. Sedangkan prajurit Panjer yang dipimpin
oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) tetap bertahan di atas Gunung
Paras. Prajurit Panjer berbaur dan tinggal bersama rakyat di Desa tersebut.
Setiap malam mereka menyeberangi sungai Lukulo untuk
bergerilya ke kota.
Tidak
jauh dari tepi sungai Lukulo ada sebuah bangunan Masjid besar yang konon
kabarnya di bangun oleh Kyai Ageng Geseng, dan di renovasi pada tahun 1842,
Kyai Ageng Geseng termasuk murid dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Geseng mempunyai
murid yang bernama Ki Bagus Bodronolo putra dari Ki Bagus Maduseno dengan Istri
yang bernama Raden Ayu Dewi Madjadji, Ki Bagus Bodronolo lahir pada tahun 1603,
setelah umur 12 Tahun Ki Bagus Bodronolo mengembara ke arah barat, dan bertemu
dengan Ki Ageng Geseng, kemudian di angkat menjadi muridnya, dan di ajak ke
Gunung Geyong ( sekarang Desa Karang Kembang- Alian ), menurut cerita lepas
benar dan tidaknya pada saat Ki Ageng gesang mendirikan masjid di tepi sungai
Lukulo, ternyata di Desa tersebut tetdapat anak keturunan dari Mataram yang
bersembunyi di tempat itu, maka Ki Ageng geseng mengupulkan keturunan Mataram
tersebut untuk bergabung, dan konon tempat tersebut di beri nama dengan sebutan
Bani Khoero yang artinya Keturunan orang baik. Karena lidah orang jawa kurang
begitu fasih mengucapkan bahasa arab sehingga mengucapkannya Banioro sampai
sekarang menjadi sebuah Desa namanya Desa Banioro. Konon Masjid tersebut
merupakan tempat persembunyian dan tempat berundingnya para gerilyawan untuk
melaksanakan sabotase-sabotase ke dalam kota, menculik anak-anak yang orang
tuanya menjadi antek Kompeni Belanda.
Pada malam hari mereka menghadang Patroli Kompeni Belanda dan mengganggu Pos-pos penjagaan, juga membakar rumah-rumah yang
dihuni oleh antek-antek Kompeni Belanda. Sehingga membuat kota menjadi kacau
dan tidak tentram.
Di
Desa Banioro pertempuran masih berlanjut, akan tetapi tidak secara frontal,
melainkan dengan cara Sporadis ( pukul lari ), cara seperti itu dilakukan oleh
para gerilya secara terus menerus akhirnya membuat pusing pasukan Kompeni
Belanda. Dan akhirnya Kompeni ingin memanggil para pimpinan prajurit
panjer untuk diajak berunding, tetapi
keinginan Kompeni Belanda di tolak oleh
para pimpinan prajurit panjer gunung, karena para pimpinan Panjer tahu
kelicikan Kompeni Belanda, seperti yang dilakukan terhadap Pangeran Diponegoro.
Alhasil perundingan hanya diwakili oleh Ki Kertanegara I ( mantan Adipati Karanganyar
), dalam perundingan Kompeni Belanda VOC mengusulkan agar seluruh peperangan
melawan Kompeni Belanda agar segera dihentikan, dengan imbalan semua keluarga
di jamin hidup senang. Tetapi semua penawaran Kompeni ditolak, baik oleh Ki
Kertanegara I maupun oleh para pimpinan pasukan panjer dan Sigaluh, sehingga
beberapa kali perundingan tidak mencapai kesepakatan.
Akhirnya
Ki Kertanegara I mengajukan usul, Bahwa
pihak kompeni agar menerima anak cucu dari
KRAT Kolopaking IV menjadi Adipati Temenggung di Panjer Roma bila sudah
dewasa, tapi usulan Ki Kertanegara I untuk sementara di tolak. Karena akan
dilaporkan dulu ke Guberbur Jendral Graff Van Den Bosch.
Akhirnya usulan dari Ki Kertanegara I di terima
tetapi ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi yaitu :
1. Tidak boleh menjadi Penguasa / bupati di
Panjer Roma
2.
Tidak
boleh memakai nama Kolopaking
3. Ditetapkan bahwa anak cucu KRAT
Kolopaking IV menjadi Bupati di Banjar Negara dan memakai nama Djoyonegoro.
Setelah terjadi kesepakatan Ki Kertanegara I
langsung mengabarkan kepada Pimpinan Pemerintahan Panjer Gunung yaitu Ki Endang
Kertowongso (pengganti KRAT Kolopaking IV dan juga kakandanya ) sedangkan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudorso )
yang sedang sakit parah dan tidak bisa mengikuti pertemuan, tetap dipersembunyiannya
di Gunung Paras Banioro. Akhirnya di panggilnya semua pimpinan pasukan
prajurit, Senopati Gomowidjoyo beserta Banaspati Djoyomenggolo, sedangkan wakil
dari Kadipaten Sigaluh tidak dapat hadir karena sedang dalam berkabung atas
meninggalnya Ki Kertodrono ( Adipati Sigaluh ). Pada Perundingan dari pucuk
pimpinan tidak tercapai kesepakatan, karena Senopati Gomowidjoyo dan Banaspati
Djoyomenggolo tidak setuju pada keputusan Kompeni Belanda tersebut, malahan
akan meneruskan menyalakan api perjuangannya melawan Kompeni Belanda sampai
terusir dai Panjer Roma.
Ternyata
perjuangan kedua Senopati tersebut dilaksanakan, dengan adanya gangguan dari
kedua Senopati tersebut membuat Kompeni Belanda merasa tidak aman sehingga
Kompeni Belanda dan Adipati Arumbinang IV mengeluarkan Maklumat / Sayembara
kepada seluruh Penduduk dibawah kekuasaan.
Isi
maklumat/Sayembara adalah sbb :
-
Barangsiapa
yang bisa menangkap Pemberontak yang bernama Gomowidjoyo dan Banaspati
Djoyomenggolo hidup atau mati akan diberi hadiah besar dan ditambah kedudukan
pangkat yang tinggi dan sanak saudaranya akan terjamin kehidupannya.
Dan akhirnya Senopati Gomowidjoyo tertangkap di Desa
Bocor. Dan dihukum mati dengan cara ditembak, dan mayatnya langsung dimaklamkan
di daerah Bocor.
Sedangkan Banaspati Djoyomenggolo di tangkap di
Jetis Kauman belakang Masjid besar Kebumen. Rencananya Banaspati Djoyomenggolo
akan dihukum picis dengan cara di gantung tapi tidak langsung mati, setiap
orang yang lewat diwajibkan menyayat/mengiris tubuhnya yang digantung. Tapi
hukuman tersebut tidak jadi dilaksanakan karena dikhawatirkan rakyat justru
akan marah,bahkan dapat berbalik membela
perjuangannya. Akhirnya Banaspati dihukum gantung di pohon beringin
ditengah lapangan ( sekarang menjadi alun-alun Kebumen )
Di
Desa Banioro ada berita bahwa pada hari Senin wage tahun 1763 Ki Hajar Weloaran
( Ki Kertowongso Sudirso ) telah wafat, karena sakit parah dan jenazahnya di
makamkan di bawah pohon jati di atas Gunung Paras.
Untuk menghormati Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso
Sudirso ) yang wafat pada hari Senin Wage tersebut di perintahkan kepada para
pengikutnya dan prajurit juga penduduk setempat agar jangan menyembelih hewan
pada hari kematian Ki Hajar Welaran, dan wewaler tersebut di ikuti sampai
sekarang yang mengetahui sejarah tersebut. Dan pada pertengahan tahun 1832
Panjer Roma secara resmi di ambil alih seluruhnya oleh Kompeni Belanda dan di
angkatlah Adipati Arumbinang IV menjadi penguasa Panjer Roma. Dan setelah di
angakat Adipati Arumbjnang IV merencanakan operasi pembersihan semua yang berbau nama Kolopaking harus dihilangkan.
Siapapun tidak boleh membawa nama
Kolopaking, dan barangsiapa yang mengunjungi atau berjiarah ke makam Kolopaking
yang bertempat di Kalijirek, apabila ia seorang Pejabat atau Pegawai
Pemerintahan maka akan langsung dipecat, dan apabila ia pedagang swasta akan
dipersulit usahanya. Dengan wafatnya Ki
Hajar Welaran nyaris para prajurit dan pengikutnya merasa kehilangan, dan ingin
meneruskan perjuangan beliau, apalagi mendengar bahwa panjer Roma telah
dikuasai oleh Kompeni Belanda, maka para pengikut yang berada di Desa Banioro
merasa geram dan marah dan ingin merebut kembali Panjer Roma dari kekuasaan
Kompeni Belanda tersebut, akan tetapi menyadari kekuatan kompeni Belanda begitu
besar akhirnya para Prajurit, Pengikut Ki Hajar Welaran yang juga di bantu oleh
Laskar Pemuda Banioro melampiaskan kemarahannya kepada seekor Kerbau bule sebagai
simbol dari Kompeni Belanda untuk di smbelih dan kepala kerbau tersebut di
kubur di tengah jalan yang pernah dilewati Kompeni Belanda.
Setelah
kerbau bule di sembelih kepalanya di tanam di tengah jalan, dagingnya di masak
untuk dimakan beramai-ramai dengan penduduk setempat dan juga mendatangkan
Tayub sebagai hiburan warga setempat. Dengan meninggalnya Ki Hajar Welaran,
Desa Banioro kembali dalam kekuasaan Adipati Arumbinang IV dan masuk dalam
wilayahnya.
Pada tahun 1858 Desa
Banioro di pimpin oleh Patra Jaya (Kepala Desa I) dengan
masa jabatan dari tahun 1853 s/d 1871, setelah beliau wafat dilanjutkan oleh Tirta
Sasmita (Kepala Desa II ), dari tahun 1871 s/d 1889, dan Tirta
Dipura (Kepala Desa III) dari tahun 1889 s/d 1907, dilanjutkan oleh Tirta
Suwongso, beliau masih Keturunan Ki Kertowongso Sudirso. (Kepala
Desa IV) menjabat dari tahun 1907 s/d 1925, kemudian dilanjutkan oleh Suroso
Rekso Dimejo (Kepala Desa V) beliau juga masih ada hubungan dengan Tirto
Suwongso,menjabat dari tahun 1925 s/d 1943, Pada masa kepemimpinan
beliau, masjid yang berada di tepi sungai Lukulo sepakat untuk dipindahkan,
karena terancam banjir dan erosi, maka dipindahlah masjid tersebut ( sekarang
Masjid Al-Hidayah ) dan Suroso Tirto Dimejo wafat pada tahun 1943, dilanjutkan Kepala
Desa yang ke VI oleh Kerta yuda, namun hanya seumur
jagung lamanya, karena sesuatu hal, dan pada tahun 1943 Desa Banioro tidak ada
Kepala Desa sehingga perwakilan masyarakat Desa Banioro menghubungi Sudarso
Tirto Dimejo yang pada saat itu sedang menjadi Pegawai di Pegadaian
Kebumen,agar mau menjadi Kepala Desa di Banioro, dan pada saat itu yang
mencalonkan Kepala Desa ada 2 ( dua ) orang menurut nara sumber Bpk. Djarot
widodo yang mencalonkan adalah :
1. Sudarso Tirto Dimejo
2. Wiryo Utomo
Setelah diadakan pemilihan yang terpilih adalah Sudarso
Tirto Dimejo sebagai Kepala Desa yang Ke VII. Setelah Sudarso
Tirto Dimejo masa jabatanya dari tahun 1943 s/d 1950. Setelah selesai
masa jabatannya di adakan pemilihan Kepala Desa kembali,dan yang terpilih
adalah Madrohim, dengan masa jabatan dari tahun 1950 s/d 1968. Menurut
nara sumber dari sesepuh Desa Banioro, pada masa jabatan Madrohim, pernah di
mintai pertolongan oleh Dalang Clapar, karena antara Desa Clapar dan Banioro
adalah satu perjuangan, di mana menurut informasi Dalang Clapar dulunya jarang
di tanggap karena menurut informasi ada salah satu wayangnya yang setiap di
tanggap selalu bisa pulang dan kadang bisa memakan korban , benar dan tidaknya
wallohu’alam, sehingga warga merasa takut untuk mengundang dalang Clapar,
akhirnya minta bantuan kepada Kepala Desa Madrohim agar dalang Clapar bisa pentas
di Banioro, dan setelah di tanggap di Banioro ternyata tidak ada kejadian
apapun. Dan mulai saat itu setiap bulan Sura Desa Banioro selalu mengadakan
hiburan wayang kulit, dengan tujuan :
1. Untuk nguri-uri peninggalan Sunan
Kalijaga
2.
Tasyakuran
karena Desa Banioro sudah terbebas dari Penjajahan Belanda
3. Mengenang sejarah perjuangan Desa
Banioro
Setelah Kepala Desa Madrohim meninggal, dilanjutkan
oleh Kepala Desa yang ke VIII yaitu Madkarto,yang menjabat dari tahun
1968 s/d 1986 dalam melanjutkan Pemerintahan Desa Banioro juga tidak
meninggalkan tradisi yang telah ada sebelumnya. Masa jabataban Madkarto selesai
pada tahun 1986 dan di adakan pemilihan kepala Desa kembali,dan yang tepilih
adalah S Kuspranoto sebagai Kepala Desa yang ke IX beliau menjabat Kades selama
2 (dua) periode dari tahun 1986 s/d 2002, dan tahun 2002 diadakan pemilihan
Kepala Desa Kembali dan yang terpilih adalah Michad, dan beliau menjabat baru 3
(tiga) tahun, beliau sakit sampai akhirnya meninggal dunia dan untuk meneruskan
masa jabatan yang masih tersisa sampai tahun 2007, maka diadakan Penjabat
sementara ( PJ ) oleh Sekdes Muhtar. Dan tahun 2007 diadakan pemilihan kepala
desa kembali dan yang terpilih adalah Dasun,dengan masa jabatan dari tahun 2007
s/d 2013, namun juga tidak sampai selesai masa jabatannya, karena sesuatau hal,
sehingga hanya menjabat selama 2 ½ tahun, dan jabatan Pj di pegang lagi oleh
Sekdes Muhtar sampai pemilihan kades kembali. Dan pemilihan kades dilaksanakan
pada bulan Nofember tahun 2011 dan yang terpilih adalah Andi Wibowo untuk masa
jabatab 6 (enam) tahun dari tahun 2012 s/d 2017. Pada masa jabatan kades Andi
wobowo secara kebetulan di Desa Banioro akan dilaksaksanakan Pemasangan
Prasasti Sejarah Dinasi Pendopo Panjer Gunung dan juga akan dilaksanakan Napak
Tilas sejarah Perjuangan KRAT Kolopaking IV, yang berada di makam panjer Desa
Banioro, dan peresmian Prasasti tersebut akan di tanda tangani oleh Dany
Rakca Andalasawan, S.Ap Letnan Kolonel Inf NRP. 1920031270470.
Dari Dandim Kabupaten Kebumen. Pelaksanaannya hari
Sabtu tanggal 19 Mei 2012 mulai pukul 14.00 wib Dilanjutkan naik ke Gunung
Paras untuk melaksanakan Tahlil dan paginya dilaksanakan Upacara Hari
Kebangkitan Nasional di Puincak Gunung Paras. Dalam acara tersebut juga diikuti
dari berbagai unsure di Desa Banioro, tak ketinggalan pula Murid SD N Banioro
juga turut dalam acara tersebut.
Demikian sejarah
singkat Desa Banioro yang ada kaitannya dengan sejarah Dinasti Kanjeng
Raden Adipati Kolopaking IV dan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso )
yang wafat dan dimakamkan di Puncak Gunung Paras, semua yang saya tulis
adalah di ambil dari sejarah Mataram dan
informasi dari berbagai nara sumber, saya juga mohon tambahan sejarah
dari pembaca yang mengetahui untuk melengkapi catatan yang belum sempurna
ini, kurang lebihnya saya mohon maaf.
|
SILSILAH
KEPALA DESA
DESA
BANIORO
ANDI WIBOWO
KEPALA DESA XIII
PERIODE 2012 S/D 2017
|
DASUN
KEPALA DESA XII
PERIODE 2007 S/D 2013
DI BERHENTIKAN TAHUN 2010
|
MICHAD
KEPALA DESA XI
PERIODE 2002 S/D 2007
MENINGGAL DUNIA TAHUN 2005
|
S KUSPRANOTO
KEPALA DESA X
PERIODE 1986 S/D 2002
|
PATRA JAYA
KEPALA DESA I
PERIODE 1853 S/D 1871
|
TIRTA SASMITA
KEPALA DESA II
PERIODE 1871 S/D 1889
|
TIRTA DIPURA
KEPALA DESA III
PERIODE 1889 S/D 1907
|
TIRTA SUWONGSO
KEPALA DESA IV
PERIODE 1907 S/D 1925
|
SUROSO TIRTO DIMEJO
KEPALA DESA V
PERIODE 1925 S/D 1943
|
KERTA YUDA
KEPALA DESA VI
HANYA SEUMUR JAGUNG
( 3 bulan )
|
SUDARSO TIRTO DIMEJO
KEPALA DESA VII
PERIODE 1943 S/D 1950
|
MADROHIM
KEPALA DESA VIII
PERIODE 1950 S/D 1968
|
MAD KARTO
KEPALA DESA IX
PERIODE 1968 S/D 1986
|
KATA
PENGANTAR
Sejarah
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan banyak
mempengaruhi masa depan, bukan kepada
manusia tesebut saja tetapi juga kepada zaman yang dilalui. Catatan ini
menceritakan sebagian kecil dari sejarah Desa Banioro pada khususnya dimasa
penjajahan Belanda.
Beberapa
tulisan lama tentang sejarah Banioro dapat ditemukan dalam bentuk cerita
dongeng, yang disampaikan turun temurun dalam kisah kehidupan yang bervariasi
sehingga terkadang sulit mengetahui bagaimanakah kejadian atau sejarah yang
benar – benar terjadi atau berlangsung disaat itu. Buku ini berusaha memberikan tulisan jauh dari
dongeng maupun legenda dan mencari pendekatan fakta yang lebih dapat diterima
berdasarkan bukti atau catatan sejarah yang ada. Dengan membatasi ruang lingkup
penulisan; maka buku ini disusun
berorientasi khususnya kepada keturunan langsung Ki Kertowongso Sudirso
(Ki Hajar Welaran) yang bermula pada sejarah sekitar Kanjeng Raden Adipati
Kolopaking IV.
Meskipun
tidak lengkap, uraian sejarah masing – masing periode yang dijalani oleh
pemeran sejarah ini; tetapi dapat memberikan gambaran perjalanan zaman
perjuangan yang cukup rinci kepada daerah Panjer Gunung dimana Dinasti KRAT
Kolopaking berkuasa. Silsilah keluarga turun temurun telah dikutip dari banyak
sumber dan selengkap mungkin mengisi semua susunannya disamping informasi yang
diterima dari masyarakat dan sesepuh didaerah tesebut. Sangatlah diharapkan
apabila ada tambahan informasi serta keterangan lain yang dapat diikutsertakan
melengkapi tulisan kecil ini; untuk disampaikan kepada penulis, sehingga kita
dapat melihat perjalanan sejarah bisa lebih lengkap. Permhonan maaf kami
sampaikan apabila kekurangan serta ketidak tepatan penyampaian alur sejarah terjadi pada penulisan / penyusunan
buku ini, semoga pintu perbaikan dapat dibuka untuk penulisan sejarah yang
lebig baik.
Sumber
dari literature kuno, buku sejarah serta tulisan lainnya dijadikan bahan
tambahan yang melengkapi penyusunan buku ini, khususnya untuk bagian yang
banyak tidak secara langsung membahas
tentang keturunan dari Ki Kertowongso sudirso ( Ki Hajar Welaran )
tetapi merupakan bagian dari kejadian sejarah dimasa itu. Beberapa bagian dari
sejarah Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) disajikan dengan sangat singkat dan tujuan utama dari
buku ini adalah menyajikan Silsilah
keturunan Ki Hajar Welaran dan Kepala Desa Banioro dengan harapan pelestarian
sejarahnya dapat tecapai .
Semoga generasi Pemuda Banioro mendatang dapat
mempunyai gambaran yang jelas tentang suatu bagian sejarah yang berjalan di
Banioro dan Silsilah ini mengabadikan yang berperan pada saat itu.
Semoga
kekurang lengkapan penyajian serta kemungkinan belum teruraikannya secara
lengkap isi buku ini dapat dijadikan tambahan yang bermanfaat demi memperbaiki khazanah sejarah Banioro
khususnya pada generasi muda Banioro dimas mendatang.
Renggo
Suripto
Banioro,
Mei 2012