Sabtu, 03 Mei 2014

SEJARAH PENDOPO PANJER GUNUNG DESA BANIORO Ki Kertowongso Sudirso ( Ki Hajar Welaran )



 
 Pada tahun 1831. Pasukan gabungan Kompeni Belanda bersama pasukan Surakarta, yang dipimpin oleh Senopati Arumbinang IV ditambah Prajurit Jogjakarta yang setia pada Kompeni serta beberapa opsir / perwira  Kompeni menyerbu Panjer Roma. Satu demi satu pertahanan Panjer Roma yang kuat dapat di hancurkan.
          Dan Panjer Roma dapat dikuasai oleh Adipati Arumbinang IV bersama Kompeni Belanda. Sedangkan sisa prajurit Panjer Roma ada yang mundur ke Utara melalui Jatimalang, Karangkembang – Alian bahkan ada juga  yang mundur melalui Wonoyoso, Karangsari, Wonosoro dan akhirnya semua berkumpul di Desa Banioro. Perjuangan Kanjeng Raden Adipati Temenggung Kolopaking IV diteruskan oleh Endang Kertowongso paman dari Kertowongso Sudirso ( Ki Hajar Welaran ) dan mendirikan Pemerintahan Panjer Gunung ( sekarang makam Panjer ) yang diikuti oleh  Senopati Gomowidjoyo, Banaspati Djoyomenggolo dan Ki Kertodrono / penembahan Sigaluh. Pemerintahan Panjer Gunung dipimpin oleh Ki Endang Kertowongso, yang selanjutnya menggantikan KRAT Kolopaking IV.
          Setelan beberapa bulan Panjer Gunung menghimpun kekuatan dari sisa –sisa Prajurit  Panjer Roma yang terpencar, dengan penggabungan prajurit dari Sigaluh yang dipimpin oleh Ki Kertodrono serta para pemuda dan rakyat yang berdatangan dari Desa Clapar, Cemoro sewu, Jemur, Selorondo, Kaligending untuk dilatih keprajuritan menggunakan berbagai macam senjata, panah, tulup beracun, bedil dll. Setiap malam Pasukan Kompeni Belanda tidak dapat tidur karena prajurit dibawah pimpinan Banaspati Djoyomenggolo  selalu menyerang secara bergerilya, dan setiap pagi ada pasukan Kompeni yang mati dibunuh, ada yang di gantung bahkan ada juga pembakaran rumah – rumah yang orangnya dicurigai membantu Belanda. Karena setiap malam prajurit Gomowidjoyo  bergerilya ke daerah kekuasaan Kompeni  VOC, maka Senopati Arumbinang IV dan opsir Kompeni serta utusan  Jendral De Koch berunding untuk segera menghancurkan kantong – kantong gerilya sampai markasnya di Banioro, kemudian seluruh pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV di siagakan untuk menyerbu pada senja hari, yang akan di gempur  adalah markas sisa prajurit Panjer di Banioro, tetapi rencana tersebut dapat diketahui  oleh prajurit Panjer Gunung. Maka Pemerintah Panjer Gunung dengan seluruh kekuatannya siap siaga menyambut serbuan pasukan Kompeni Belanda dan Arumbinang IV dengan menggunakan siasat Capit Urang. Begitu pasukan Kompeni Belanda masuk Desa Karangsambung, langsung di hadang oleh pasukan Panjer Gunung, maka terjadilah perang besar-besaran, semua kekuatan pasukan Panjer Gunung di kerahkan baik yang dari Clapar dan Selorondo yang dipimpin oleh Ki Endang Kertowongso dan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ), demikian pula yang dari Jemur dan Cemoro sewu yang dipimpin  Ki Kertodrono ( pasukan Sigaluh ) secara serentak menyerbu pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV .
Pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV merasa kebingungan, karena apabila mau lari ke barat mereka harus menyeberang kali Lukulo dan disitu disambut panah/lembing dari pasukan Sigaluh pimpinan Ki Kertodrono dan Banaspati Djoyomenggolo. Apabila mundur , mereka dihadang oleh pasukan Senopati Gonowidjoyo dari Kaligending dan Jemur. Pasukan Kompeni  Belanda dan pasukan Surakarta yang dipimpin oleh opsir Mayor Van Royen, Kapten  Arons dan Huster terpaksa bertahan di lereng tebing kali Lukulo dan hutan pohon bambu sambil menunggu bala bantuan datang.pertempuran di Karangsambung benar – benar merupakan pertempuran besar, dimana pasukan Kompeni Belanda besrta pengikutnya mengalami pukulan berat, mental dan fisik.
Banyak prajurit yang meninggal dan luka – luka berat, mereka hanya bergeletakan bercampur dengan mayat di jalan setapak, tegalan dan di lereng perlindungannya, sedangkan bahan makanan sudah banyak yang habis. Kondisi yang demikian di manfaatkan oleh pasukan Panjer Gunung untuk terus menekan dan menggempur pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV,akhirnya pasukan panjer Gunung dapat menguasai Karangsambung dan dapat merampas persenjataan yang dimiliki oleh pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV, namun sayang pasukan Panjer Gunung tidak dapat menggunakan senjata yang di rampasnya tersebut. Kalau saja para prajurit Panjer Gunung dapat menggunakan senjata rampasan tersebut tentunya pasukan gabungan Kompeni Belanda sudah di hancurkan/dibunuh semua oleh pasukan panjer gunung.
Damun akhirnya pasukan gabungan Kompeni Belanda tidak berani keluar dari tempat perlindungannya, karena kalau sampai keluar tentu akan terkena panah, lembing, tulup (sumpit) beracun, karena itulah pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV terpaksa bertahan berhari – hari sambil menunggu bala bantuan yang datang.
Ki Kertowongso Sudirso ( Ki Hajar Welaran ) beserta Ki Kertodrono Adipati Sigaluh sudah mengerti keadaan pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV yang terdesak,dan sudah tidak berdaya dan mentalnya jatuh dan semangat bertempurnya sudah hilang, sehingga para pimpinan pasukan prajurit Panjer Gunung tidak menyia – nyiakan kesempatan tersebut,dan sepakat untuk mengadakan penyerangan secara serentak terhadap pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV.
Pasukan prajurit Sigaluh bergerak dari arah Cemoro Sewu di pimpin sendiri oleh Ki Kertodrono, menuju sasaran di tepi kali Lukulo, dan pasukan prajurit Panjer yang dipimpin oleh Banaspati Djoyomenggolo dari Desa Jemur bergerak ke timur, pasukan prajurit Panjer dengan Senopati Gomowidjoyo dari arah Kaligending menjepit ke barat, sedangkan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) dari arah Desa Selorondo bergerak juga menjepit ke barat, bersama Ki Endang Kertowongso bersama Laskar Pemuda Banioro.
Pasukan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV di gempur habis – habisan, akhirnya pasukan gabungan Kompeni Belanda banyak yang meninggal, sedangkan yang masih hidup berhamburan melarikan diri. Disinilah pasukan Kompeni Belanda pontang panting karena dikejar oleh rakyat. Akhirnya pasukan gabungan Kompeni Belanda kebingungan. Pada saat bersamaan pasukan bantuan datang untuk membantu pasukan gabungan Kompeni Belanda dan pasukan Arumbinang IV, sehingga semangat perang kembali berkobar, bala bantuan yang masih segar bugar langsung menggempur pasukan Panjer dan pasukan  Sigaluh dari segala penjuru, dan akhirnya keadaanpun berbalik yaitu pasukan panjer dan Sigaluh tidak mampu menghadapi pasukan Kompeni Belanda yang didukung dengan persenjataan lengkap. Akhirnya disemua sisi pasukan Kompeni Belanda dapat memukul mundur pasukan panjer dan sigaluh, pasukan panjer yang dipimpin oleh Senopati Gomowidjoyo di Kaligending juga di gempur mundur ke Utara bergabung dengan prajurit panjer yang dipimpin oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ), pasukan panjer yang dipimpin oleh Banaspati Djoyomenggolo  juga mundur meninggalkan banyak korban, untuk bergabung dengan pasukan Sigaluh dan bertempur menghadapi lawan, Kompeni yang dipimpin oleh Mayor Verbrug. Pasukan Kompeni Belanda di sisi barat bergerak maju terus dan menjepit pasukan panjer, pertempuran sengit terjadi hingga perang satu lawan satu, kedua belah pihak memberi korban yang tidak sedikit.
Dilokasi itu pula Senopati Sigaluh Ki Kertodrono terluka parah karena tertembak oleh Kompeni Belanda , dan dilarikan ke gunung paras, ke esokan harinya di bawa ke Cemoro sewu, tapi dalam perjalanan Ki Kertodrono terlalu banyak mengeluarkan darah dan tidak dapat tertolong lagi akhirnya meninggal diperjalanan, Jenazah Ki Kertodrono dimakamkan di bawah pohon beringin di Gunung Pakoh, dan di keramatkan menjadi panembahan sipakoh.
Pertempuaran di Karangsambung masih terus berlanjut, dan akhirnya pasukan Kompeni Belanda dapat menguasai Karangsambung, pasukan Panjer yang dipimpin oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) beserta Ki Endang Kertowongso terdesak mundur naik ke Gunung Paras dan bertahan di sana.
Ki Endang Kertowongso diam-diam menyelinap pergi ke markas di Banioro, ternyata markas tersebut sedang di gempur oleh pasukan gabungan Kompeni Belanda, dan Ki Endang Kertowongso  dengan beberapa pangawal prajurit Panjer menerusksn perjalanannya ke Gak Baning. Sedangkan prajurit Panjer yang dipimpin oleh Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) tetap bertahan di atas Gunung Paras. Prajurit Panjer berbaur dan tinggal bersama rakyat di Desa tersebut.
Setiap malam mereka menyeberangi sungai Lukulo untuk bergerilya ke kota.
          Tidak jauh dari tepi sungai Lukulo ada sebuah bangunan Masjid besar yang konon kabarnya di bangun oleh Kyai Ageng Geseng, dan di renovasi pada tahun 1842, Kyai Ageng Geseng termasuk murid dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Geseng mempunyai murid yang bernama Ki Bagus Bodronolo putra dari Ki Bagus Maduseno dengan Istri yang bernama Raden Ayu Dewi Madjadji, Ki Bagus Bodronolo lahir pada tahun 1603, setelah umur 12 Tahun Ki Bagus Bodronolo mengembara ke arah barat, dan bertemu dengan Ki Ageng Geseng, kemudian di angkat menjadi muridnya, dan di ajak ke Gunung Geyong ( sekarang Desa Karang Kembang- Alian ), menurut cerita lepas benar dan tidaknya pada saat Ki Ageng gesang mendirikan masjid di tepi sungai Lukulo, ternyata di Desa tersebut tetdapat anak keturunan dari Mataram yang bersembunyi di tempat itu, maka Ki Ageng geseng mengupulkan keturunan Mataram tersebut untuk bergabung, dan konon tempat tersebut di beri nama dengan sebutan Bani Khoero yang artinya Keturunan orang baik. Karena lidah orang jawa kurang begitu fasih mengucapkan bahasa arab sehingga mengucapkannya Banioro sampai sekarang menjadi sebuah Desa namanya Desa Banioro. Konon Masjid tersebut merupakan tempat persembunyian dan tempat berundingnya para gerilyawan untuk melaksanakan sabotase-sabotase ke dalam kota, menculik anak-anak yang orang tuanya menjadi  antek Kompeni Belanda. Pada malam hari mereka menghadang Patroli Kompeni Belanda  dan mengganggu Pos-pos  penjagaan, juga membakar rumah-rumah yang dihuni oleh antek-antek Kompeni Belanda. Sehingga membuat kota menjadi kacau dan tidak tentram.
          Di Desa Banioro pertempuran masih berlanjut, akan tetapi tidak secara frontal, melainkan dengan cara Sporadis ( pukul lari ), cara seperti itu dilakukan oleh para gerilya secara terus menerus akhirnya membuat pusing pasukan Kompeni Belanda. Dan akhirnya Kompeni ingin memanggil para pimpinan prajurit panjer  untuk diajak berunding, tetapi keinginan Kompeni Belanda di tolak  oleh para pimpinan prajurit panjer gunung, karena para pimpinan Panjer tahu kelicikan Kompeni Belanda, seperti yang dilakukan terhadap Pangeran Diponegoro.
Alhasil perundingan hanya diwakili oleh  Ki Kertanegara I ( mantan Adipati Karanganyar ), dalam perundingan Kompeni Belanda VOC mengusulkan agar seluruh peperangan melawan Kompeni Belanda agar segera dihentikan, dengan imbalan semua keluarga di jamin hidup senang. Tetapi semua penawaran Kompeni ditolak, baik oleh Ki Kertanegara I maupun oleh para pimpinan pasukan panjer dan Sigaluh, sehingga beberapa kali perundingan tidak mencapai kesepakatan.
          Akhirnya Ki Kertanegara I  mengajukan usul, Bahwa pihak kompeni agar menerima anak cucu dari  KRAT Kolopaking IV menjadi Adipati Temenggung di Panjer Roma bila sudah dewasa, tapi usulan Ki Kertanegara I untuk sementara di tolak. Karena akan dilaporkan dulu ke Guberbur Jendral Graff Van Den Bosch.
Akhirnya usulan dari Ki Kertanegara I di terima tetapi ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi yaitu :
1.     Tidak boleh menjadi Penguasa / bupati di Panjer Roma
2.     Tidak boleh memakai nama Kolopaking
3.     Ditetapkan bahwa anak cucu KRAT Kolopaking IV menjadi Bupati di Banjar Negara dan memakai nama Djoyonegoro.
Setelah terjadi kesepakatan Ki Kertanegara I langsung mengabarkan kepada Pimpinan Pemerintahan Panjer Gunung yaitu Ki Endang Kertowongso (pengganti KRAT Kolopaking IV dan juga kakandanya ) sedangkan  Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudorso ) yang sedang sakit parah dan tidak bisa mengikuti pertemuan, tetap dipersembunyiannya di Gunung Paras Banioro. Akhirnya di panggilnya semua pimpinan pasukan prajurit, Senopati Gomowidjoyo beserta Banaspati Djoyomenggolo, sedangkan wakil dari Kadipaten Sigaluh tidak dapat hadir karena sedang dalam berkabung atas meninggalnya Ki Kertodrono ( Adipati Sigaluh ). Pada Perundingan dari pucuk pimpinan tidak tercapai kesepakatan, karena Senopati Gomowidjoyo dan Banaspati Djoyomenggolo tidak setuju pada keputusan Kompeni Belanda tersebut, malahan akan meneruskan menyalakan api perjuangannya melawan Kompeni Belanda sampai terusir dai Panjer Roma.
          Ternyata perjuangan kedua Senopati tersebut dilaksanakan, dengan adanya gangguan dari kedua Senopati tersebut membuat Kompeni Belanda merasa tidak aman sehingga Kompeni Belanda dan Adipati Arumbinang IV mengeluarkan Maklumat / Sayembara kepada seluruh Penduduk dibawah kekuasaan.
          Isi maklumat/Sayembara adalah sbb :
-         Barangsiapa yang bisa menangkap Pemberontak yang bernama Gomowidjoyo dan Banaspati Djoyomenggolo hidup atau mati akan diberi hadiah besar dan ditambah kedudukan pangkat yang tinggi dan sanak saudaranya akan terjamin kehidupannya.
Dan akhirnya Senopati Gomowidjoyo tertangkap di Desa Bocor. Dan dihukum mati dengan cara ditembak, dan mayatnya langsung dimaklamkan di daerah Bocor.
Sedangkan Banaspati Djoyomenggolo di tangkap di Jetis Kauman belakang Masjid besar Kebumen. Rencananya Banaspati Djoyomenggolo akan dihukum picis dengan cara di gantung tapi tidak langsung mati, setiap orang yang lewat diwajibkan menyayat/mengiris tubuhnya yang digantung. Tapi hukuman tersebut tidak jadi dilaksanakan karena dikhawatirkan rakyat justru akan marah,bahkan dapat berbalik membela  perjuangannya. Akhirnya Banaspati dihukum gantung di pohon beringin ditengah lapangan ( sekarang menjadi alun-alun Kebumen )
          Di Desa Banioro ada berita bahwa pada hari Senin wage tahun 1763 Ki Hajar Weloaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) telah wafat, karena sakit parah dan jenazahnya di makamkan di bawah pohon jati di atas Gunung Paras.
Untuk menghormati Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) yang wafat pada hari Senin Wage tersebut di perintahkan kepada para pengikutnya dan prajurit juga penduduk setempat agar jangan menyembelih hewan pada hari kematian Ki Hajar Welaran, dan wewaler tersebut di ikuti sampai sekarang yang mengetahui sejarah tersebut. Dan pada pertengahan tahun 1832 Panjer Roma secara resmi di ambil alih seluruhnya oleh Kompeni Belanda dan di angkatlah Adipati Arumbinang IV menjadi penguasa Panjer Roma. Dan setelah di angakat Adipati Arumbjnang IV merencanakan operasi  pembersihan semua yang berbau  nama Kolopaking harus dihilangkan. Siapapun  tidak boleh membawa nama Kolopaking, dan barangsiapa yang mengunjungi atau berjiarah ke makam Kolopaking yang bertempat di Kalijirek, apabila ia seorang Pejabat atau Pegawai Pemerintahan maka akan langsung dipecat, dan apabila ia pedagang swasta akan dipersulit usahanya.                                                                                                         Dengan wafatnya Ki Hajar Welaran nyaris para prajurit dan pengikutnya merasa kehilangan, dan ingin meneruskan perjuangan beliau, apalagi mendengar bahwa panjer Roma telah dikuasai oleh Kompeni Belanda, maka para pengikut yang berada di Desa Banioro merasa geram dan marah dan ingin merebut kembali Panjer Roma dari kekuasaan Kompeni Belanda tersebut, akan tetapi menyadari kekuatan kompeni Belanda begitu besar akhirnya para Prajurit, Pengikut Ki Hajar Welaran yang juga di bantu oleh Laskar Pemuda Banioro melampiaskan kemarahannya kepada seekor Kerbau bule sebagai simbol dari Kompeni Belanda untuk di smbelih dan kepala kerbau tersebut di kubur di tengah jalan yang pernah dilewati Kompeni Belanda.
          Setelah kerbau bule di sembelih kepalanya di tanam di tengah jalan, dagingnya di masak untuk dimakan beramai-ramai dengan penduduk setempat dan juga mendatangkan Tayub sebagai hiburan warga setempat. Dengan meninggalnya Ki Hajar Welaran, Desa Banioro kembali dalam kekuasaan Adipati Arumbinang IV dan masuk dalam wilayahnya.
Pada tahun 1858 Desa Banioro di pimpin oleh Patra Jaya (Kepala Desa I) dengan masa jabatan dari tahun 1853 s/d 1871, setelah beliau wafat dilanjutkan oleh Tirta Sasmita (Kepala Desa II ), dari tahun 1871 s/d 1889, dan Tirta Dipura (Kepala Desa III) dari tahun 1889 s/d 1907, dilanjutkan oleh Tirta Suwongso, beliau masih Keturunan Ki Kertowongso Sudirso. (Kepala Desa IV) menjabat dari tahun 1907 s/d 1925, kemudian dilanjutkan oleh Suroso Rekso Dimejo (Kepala Desa V) beliau juga masih ada hubungan dengan Tirto Suwongso,menjabat dari tahun 1925 s/d 1943, Pada masa kepemimpinan beliau, masjid yang berada di tepi sungai Lukulo sepakat untuk dipindahkan, karena terancam banjir dan erosi, maka dipindahlah masjid tersebut ( sekarang Masjid Al-Hidayah ) dan Suroso Tirto Dimejo wafat pada tahun 1943, dilanjutkan Kepala Desa yang ke VI oleh Kerta yuda, namun hanya seumur jagung lamanya, karena sesuatu hal, dan pada tahun 1943 Desa Banioro tidak ada Kepala Desa sehingga perwakilan masyarakat Desa Banioro menghubungi Sudarso Tirto Dimejo yang pada saat itu sedang menjadi Pegawai di Pegadaian Kebumen,agar mau menjadi Kepala Desa di Banioro, dan pada saat itu yang mencalonkan Kepala Desa ada 2 ( dua ) orang menurut nara sumber Bpk. Djarot widodo yang mencalonkan adalah :
1.     Sudarso Tirto Dimejo
2.     Wiryo Utomo
Setelah diadakan pemilihan yang terpilih adalah Sudarso Tirto Dimejo sebagai Kepala Desa yang Ke VII. Setelah Sudarso Tirto Dimejo masa jabatanya dari tahun 1943 s/d 1950. Setelah selesai masa jabatannya di adakan pemilihan Kepala Desa kembali,dan yang terpilih adalah Madrohim, dengan masa jabatan dari tahun 1950 s/d 1968. Menurut nara sumber dari sesepuh Desa Banioro, pada masa jabatan Madrohim, pernah di mintai pertolongan oleh Dalang Clapar, karena antara Desa Clapar dan Banioro adalah satu perjuangan, di mana menurut informasi Dalang Clapar dulunya jarang di tanggap karena menurut informasi ada salah satu wayangnya yang setiap di tanggap selalu bisa pulang dan kadang bisa memakan korban , benar dan tidaknya wallohu’alam, sehingga warga merasa takut untuk mengundang dalang Clapar, akhirnya minta bantuan kepada Kepala Desa Madrohim agar dalang Clapar bisa pentas di Banioro, dan setelah di tanggap di Banioro ternyata tidak ada kejadian apapun. Dan mulai saat itu setiap bulan Sura Desa Banioro selalu mengadakan hiburan wayang kulit, dengan tujuan :
1.     Untuk nguri-uri peninggalan Sunan Kalijaga
2.     Tasyakuran karena Desa Banioro sudah terbebas dari Penjajahan Belanda
3.     Mengenang sejarah perjuangan Desa Banioro
Setelah Kepala Desa Madrohim meninggal, dilanjutkan oleh Kepala Desa yang ke VIII yaitu Madkarto,yang menjabat dari tahun 1968 s/d 1986 dalam melanjutkan Pemerintahan Desa Banioro juga tidak meninggalkan tradisi yang telah ada sebelumnya. Masa jabataban Madkarto selesai pada tahun 1986 dan di adakan pemilihan kepala Desa kembali,dan yang tepilih adalah S Kuspranoto sebagai Kepala Desa yang ke IX beliau menjabat Kades selama 2 (dua) periode dari tahun 1986 s/d 2002, dan tahun 2002 diadakan pemilihan Kepala Desa Kembali dan yang terpilih adalah Michad, dan beliau menjabat baru 3 (tiga) tahun, beliau sakit sampai akhirnya meninggal dunia dan untuk meneruskan masa jabatan yang masih tersisa sampai tahun 2007, maka diadakan Penjabat sementara ( PJ ) oleh Sekdes Muhtar. Dan tahun 2007 diadakan pemilihan kepala desa kembali dan yang terpilih adalah Dasun,dengan masa jabatan dari tahun 2007 s/d 2013, namun juga tidak sampai selesai masa jabatannya, karena sesuatau hal, sehingga hanya menjabat selama 2 ½ tahun, dan jabatan Pj di pegang lagi oleh Sekdes Muhtar sampai pemilihan kades kembali. Dan pemilihan kades dilaksanakan pada bulan Nofember tahun 2011 dan yang terpilih adalah Andi Wibowo untuk masa jabatab 6 (enam) tahun dari tahun 2012 s/d 2017. Pada masa jabatan kades Andi wobowo secara kebetulan di Desa Banioro akan dilaksaksanakan Pemasangan Prasasti Sejarah Dinasi Pendopo Panjer Gunung dan juga akan dilaksanakan Napak Tilas sejarah Perjuangan KRAT Kolopaking IV, yang berada di makam panjer Desa Banioro, dan peresmian Prasasti tersebut akan di tanda tangani oleh Dany Rakca Andalasawan, S.Ap Letnan Kolonel Inf NRP. 1920031270470.
Dari Dandim Kabupaten Kebumen. Pelaksanaannya hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012 mulai pukul 14.00 wib Dilanjutkan naik ke Gunung Paras untuk melaksanakan Tahlil dan paginya dilaksanakan Upacara Hari Kebangkitan Nasional di Puincak Gunung Paras. Dalam acara tersebut juga diikuti dari berbagai unsure di Desa Banioro, tak ketinggalan pula Murid SD N Banioro juga turut dalam acara tersebut.


               
Demikian sejarah singkat Desa Banioro yang ada kaitannya dengan sejarah Dinasti Kanjeng Raden Adipati Kolopaking IV dan Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) yang wafat dan dimakamkan di Puncak Gunung Paras, semua yang saya tulis adalah di ambil dari sejarah Mataram dan  informasi dari berbagai nara sumber, saya juga mohon tambahan sejarah dari pembaca yang mengetahui untuk melengkapi catatan yang belum sempurna ini, kurang lebihnya saya mohon maaf.

 










SILSILAH KEPALA DESA
DESA BANIORO


ANDI WIBOWO
KEPALA DESA XIII
PERIODE 2012 S/D 2017

DASUN
KEPALA DESA XII
PERIODE 2007 S/D 2013
DI BERHENTIKAN TAHUN 2010

MICHAD
KEPALA DESA XI
PERIODE 2002 S/D 2007
MENINGGAL DUNIA TAHUN 2005

S KUSPRANOTO
KEPALA DESA X
PERIODE 1986 S/D 2002

PATRA JAYA
KEPALA DESA I
PERIODE 1853 S/D 1871

TIRTA SASMITA
KEPALA DESA II
PERIODE 1871 S/D 1889

TIRTA DIPURA
KEPALA DESA III
PERIODE 1889 S/D 1907

TIRTA SUWONGSO
KEPALA DESA IV
PERIODE 1907 S/D 1925

SUROSO TIRTO DIMEJO
KEPALA DESA V
PERIODE 1925 S/D 1943

KERTA YUDA
KEPALA DESA VI
HANYA SEUMUR JAGUNG
( 3 bulan )

SUDARSO TIRTO DIMEJO
KEPALA DESA VII
PERIODE 1943 S/D 1950


MADROHIM
KEPALA DESA VIII
PERIODE 1950 S/D 1968

MAD KARTO
KEPALA DESA IX
PERIODE 1968 S/D 1986
                                                                                                                                     







































KATA PENGANTAR


            Sejarah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan banyak mempengaruhi  masa depan, bukan kepada manusia tesebut saja tetapi juga kepada zaman yang dilalui. Catatan ini menceritakan sebagian kecil dari sejarah Desa Banioro pada khususnya dimasa penjajahan Belanda.
            Beberapa tulisan lama tentang sejarah Banioro dapat ditemukan dalam bentuk cerita dongeng, yang disampaikan turun temurun dalam kisah kehidupan yang bervariasi sehingga terkadang sulit mengetahui bagaimanakah kejadian atau sejarah yang benar – benar terjadi atau berlangsung disaat itu. Buku   ini berusaha memberikan tulisan jauh dari dongeng maupun legenda dan mencari pendekatan fakta yang lebih dapat diterima berdasarkan bukti atau catatan sejarah yang ada. Dengan membatasi ruang lingkup penulisan; maka buku ini disusun  berorientasi khususnya kepada keturunan langsung Ki Kertowongso Sudirso (Ki Hajar Welaran) yang bermula pada sejarah sekitar Kanjeng Raden Adipati Kolopaking IV.
            Meskipun tidak lengkap, uraian sejarah masing – masing periode yang dijalani oleh pemeran sejarah ini; tetapi dapat memberikan gambaran perjalanan zaman perjuangan yang cukup rinci kepada daerah Panjer Gunung dimana Dinasti KRAT Kolopaking berkuasa. Silsilah keluarga turun temurun telah dikutip dari banyak sumber dan selengkap mungkin mengisi semua susunannya disamping informasi yang diterima dari masyarakat dan sesepuh didaerah tesebut. Sangatlah diharapkan apabila ada tambahan informasi serta keterangan lain yang dapat diikutsertakan melengkapi tulisan kecil ini; untuk disampaikan kepada penulis, sehingga kita dapat melihat perjalanan sejarah bisa lebih lengkap. Permhonan maaf kami sampaikan apabila kekurangan serta ketidak tepatan  penyampaian alur  sejarah terjadi pada penulisan / penyusunan buku ini, semoga pintu perbaikan dapat dibuka untuk penulisan sejarah yang lebig baik.
            Sumber dari literature kuno, buku sejarah serta tulisan lainnya dijadikan bahan tambahan yang melengkapi penyusunan buku ini, khususnya untuk bagian yang banyak tidak secara langsung membahas  tentang keturunan dari Ki Kertowongso sudirso ( Ki Hajar Welaran ) tetapi merupakan bagian dari kejadian sejarah dimasa itu. Beberapa bagian dari sejarah Ki Hajar Welaran ( Ki Kertowongso Sudirso ) disajikan  dengan sangat singkat dan tujuan utama dari buku ini adalah  menyajikan Silsilah keturunan Ki Hajar Welaran dan Kepala Desa Banioro dengan harapan pelestarian sejarahnya dapat tecapai .
Semoga generasi Pemuda Banioro mendatang dapat mempunyai gambaran yang jelas tentang suatu bagian sejarah yang berjalan di Banioro dan Silsilah ini mengabadikan yang berperan pada saat itu.
            Semoga kekurang lengkapan penyajian serta kemungkinan belum teruraikannya secara lengkap isi buku ini dapat dijadikan tambahan yang bermanfaat  demi memperbaiki khazanah sejarah Banioro khususnya pada generasi muda Banioro dimas mendatang.




Renggo Suripto
Banioro, Mei 2012






                                                                                                                                                                                                                               



































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar